Setelah mengirimkan semua berkas yang diperlukan, keesokan harinya, kabar baik pun datang. saya menerima informasi bahwa Tepatnya hari Kamis,Pada tanggal 25 Juli 2024 kami harus menghadiri penandatanganan kontrak NPHD (Nota Penerimaan Hibah Daerah) di Islamic Center Surabaya. Undangan ini adalah momentum penting, menandai bahwa perjalanan panjang kami telah memasuki babak baru.
Kami memutuskan untuk berangkat dini hari, tepatnya pukul 01.00, dari Margomulyo. Dalam satu mobil, kami berempat: saya, Pak Sigit, Pak Miran, dan Bu Maslahah. Pak Miran dan Bu Maslahah turut serta dalam perjalanan ini karena mereka juga memiliki acara yang sama, yakni penandatanganan NPHD untuk Lembaga RA mereka. Perjalanan itu terasa seperti sebuah misi penting, dan suasana hati kami penuh dengan harapan, meski udara malam terasa dingin menusuk.
Kami berhenti sejenak di sebuah SPBU di Kota Gresik untuk melaksanakan sholat Subuh. Di sana, kami merasakan keheningan pagi yang menenangkan, seolah memberikan kami kekuatan tambahan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tak disangka, perjalanan ini ternyata dipenuhi dengan berbagai drama kecil yang membuatnya semakin berkesan.
Drama pertama terjadi ketika kami tiba di pintu tol. Saat itu, Pak Sigit hendak menggesek kartu E-Tol, tetapi ternyata saldo di dalamnya sudah habis. Dalam keheningan malam, kami semua terdiam, mencoba mencari solusi. Tak ada tempat untuk mengisi ulang, dan waktu yang masih dini hari membuat situasi semakin sulit. Namun, di tengah kebingungan itu, Allah seakan mengirimkan malaikat-Nya dalam wujud seorang sopir truk. Pak Sigit, yang sedang mencari bantuan, bertemu dengan sopir itu—seorang yang tampak kelelahan dan baru saja kehilangan ponselnya saat tertidur. Dengan kebaikan hatinya, sopir tersebut membantu kami membuka pintu tol dengan kartu E-Tol miliknya. Alhamdulillah, satu rintangan telah kami lewati, dan perjalanan pun bisa dilanjutkan.
Namun, Surabaya masih menyimpan kejutan lain bagi kami. Saat mendekati Gedung Islamic Center, drama berikutnya dimulai. Google Maps, yang seharusnya menjadi penunjuk jalan kami, justru membawa kami berputar-putar di tengah hiruk pikuk pagi kota Surabaya. Kami mengikuti komandonya, tetapi entah kenapa, jalur yang diberikan seakan ingin menguji kesabaran kami. Setelah berputar beberapa kali, kami akhirnya berhenti di depan sebuah Alfamart, yang ternyata menyediakan layanan isi ulang E-Tol.
Di saat itulah, Pak Sigit dan saya saling berpandangan, dan kami bergumam dalam hati, mungkin ini adalah cara Sang Sutradara—Tuhan—untuk mengingatkan kami agar lebih bijak dalam mempersiapkan segala sesuatu, termasuk mengisi ulang token E-Tol. Saat kesadaran itu muncul, spontan kami berempat tertawa terbahak-bahak, menikmati betapa lucunya keadaan yang kami alami. Apa yang seharusnya menjadi sumber kekhawatiran justru menjadi momen kebersamaan yang hangat, menghilangkan kepenatan perjalanan.
Akhirnya, setelah segala lika-liku yang kami alami, kami tiba di Gedung Islamic Center Surabaya tepat pukul 06.00. Meski perjalanan ini dipenuhi dengan kejutan-kejutan tak terduga, semua itu terasa seperti bagian dari sebuah skenario besar yang telah diatur dengan sempurna. Kami datang dengan hati yang tenang, siap untuk menandatangani kontrak yang akan menjadi langkah awal dari terwujudnya mimpi besar kami di Margomulyo.